Media Sosial bukan Produk Jurnalistik

oleh -

Media Sosial bukan Produk Jurnalistik
Masyarakat perlu mengetahui bahwa media sosial bukanlah produk jurnalistik dan terdapat banyak perbedaan di antara keduanya. Di jejaring sosial tidak ada aturan atau ketentuan untuk menulis, artinya gratis. Sementara media sebagai produk jurnalistik justru bertolak belakang. Seorang jurnalis berita harus memenuhi kriteria 5W+1H (Apa, Siapa, Kapan, Dimana, Mengapa + Komentar_red) dan hal ini tidak terdapat di media sosial pada umumnya.

Hal tersebut diungkapkan salah satu anggota Dewan Pers, Ratna Komala, saat debat publik “Tsunami media sosial dalam perspektif hukum” yang diselenggarakan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI Korda) Malang Raya yang digelar di Hotel Ijen Suites Malang . , Sabtu malam (1 Juli). Menurutnya, di media sosial, penulis berita lebih berorientasi pada keuntungan, sedangkan jurnalisme lebih pada penyampaian informasi kepada publik.

Oleh karena itu, menurut Ratna, Dewan Pers tidak berhak mengintervensi dan “menghakimi” apa yang terjadi di media sosial, apalagi yang saat ini tengah marak beredar terkait game sosial, hoax, dan ujaran kebencian dari beberapa pihak. Di sinilah masyarakat perlu berpikir kritis dan mampu menyikapi berita dan informasi yang diterimanya, tambahnya.

Wanita berjilbab ini menambahkan, meski media merupakan produk jurnalistik, jika terjadi peristiwa penyampaian informasi palsu, selain dinilai opini publik, Dewan Pers akan segera mengambil tindakan tegas. “Jika suatu media massa, baik online, cetak, radio, atau televisi, sering memberitakan berita yang tidak autentik, maka masyarakat dan pembaca akan mengabaikannya,” jelas Ratna.

Sejak tahun 1998 hingga saat ini, kata dia, terdapat sekitar 43.000 lembaga pers online dan baru 230 lembaga pers yang terdaftar di Dewan Pers. Ribuan lainnya perlu diperiksa untuk mengetahui apakah itu produk jurnalistik asli atau hanya media palsu. “Media massa yang tidak mau dicap abal-abal harus memenuhi kriteria atau aturan. “Seperti jumlah jurnalis, kantor, visi misi, dan lain-lain.” jelas Ratna.

Di penghujung perdebatan, banyak pihak antara lain akademisi, polisi, jurnalis, Dewan Pers, Anggota Komite III DPR RI, komunitas media sosial, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga. Pemuda tersebut memberikan pernyataan. Pernyataan yang diberi nama Asosiasi Melawan Hoax dan Ujaran Kebencian ini berharap tidak ada lagi yang menyebarkan informasi tidak jelas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *